RAHASIA WIRO
Wiro hanya menggeleng ketika gurunya menyodorkan secangkir kopi pahit.
"Kau kenapa?" tanya Sang Guru penasaran.
Wiro terdiam.
"Tidak biasanya kau seperti ini. Aneh"
Wiro menundukkan kepalanya. Mengamati kedua kakinya yang hitam legam seperti potongan kayu. Entah apa yang ada di kepalanya.
"Kau tahu Wiro? Dulu ketika aku menemukanmu, kau masih sangat kecil, baru lahir, masih merah. Tak terasa cepat sekali waktu berlalu. Sudah 20 tahun ternyata waktu yang terlewat," cerita Sang Guru.
Wiro mengangkat kepalanya. Tapi masih belum mengeluarkan suara sama sekali.
"Sekarang kau sudah dewasa. Dan sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui apa yang selama ini kusimpan rapat-rapat darimu."
Perhatian Wiro kini beralih sepenuhnya, mendengarkan laki-laki tua dan korengan itu bercerita.
Sang Guru mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Wiro memperhatikan dengan seksama. Benda kecil berbentuk kotak, hitam, dan kumal.
"Ambil ini dan simpanlah," Sang Guru menyodorkan kotak itu kepada Wiro.
Wiro menerimanya dengan takzim, seperti prajurit rendahan yang menerima titah raja. Rasa penasaran tak dapat disembunyikan dari wajahnya.
Sang Guru membiarkan Wiro diliputi rasa ingin tahu. "Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro."
Wiro masih belum menjawab. Diamatinya kotak hitam itu. Diputar-putarnya. Ditimbang-timbangnya, menerka-nerka apa isinya.
"Wiro, meskipun kau bukan anakku sendiri, aku sangat menyayangimu."
Kali ini mata Wiro berkaca-kaca demi mendengar kalimat orang yang sudah merawatnya sejak orok itu.
"Ketahuilah Wiro, mungkin tak banyak yang bisa kuberikan untukmu selama ini. Bahkan untuk menyekolahkanmu saja aku tak mampu."
Air mata Wiro meleleh. Ia memang tak pernah tahu siapa orang tua kandungnya. Sepanjang yang dia ingat, hanya orang tua yang ia panggil Guru ini lah keluarganya.
"Wiro, hari ini tepat 20 tahun ketika aku menemukanmu di bawah jembatan. Dan selama ini kau tak pernah merayakan ulang tahun kan??"
Wiro mengangguk.
"Maka anggap saja hari ini hari ulang tahunmu. Kotak hitam itu kado untukmu. Mungkin tak seberapa. Bukan i-pad, hape, apalagi kunci Honda Jazz. Bukalah.."
Wiro merobek bungkusnya yang kumal dan bau. Sementara Sang Guru menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dengan nada yang berantakan. Ternyata beberapa helai senar gitar.
"Itu untuk gitarmu, biar lebih giat lagi kalau ngamen," kata Sang Guru.
Wiro hanya menggeleng ketika gurunya menyodorkan secangkir kopi pahit.
"Kau kenapa?" tanya Sang Guru penasaran.
Wiro terdiam.
"Tidak biasanya kau seperti ini. Aneh"
Wiro menundukkan kepalanya. Mengamati kedua kakinya yang hitam legam seperti potongan kayu. Entah apa yang ada di kepalanya.
"Kau tahu Wiro? Dulu ketika aku menemukanmu, kau masih sangat kecil, baru lahir, masih merah. Tak terasa cepat sekali waktu berlalu. Sudah 20 tahun ternyata waktu yang terlewat," cerita Sang Guru.
Wiro mengangkat kepalanya. Tapi masih belum mengeluarkan suara sama sekali.
"Sekarang kau sudah dewasa. Dan sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui apa yang selama ini kusimpan rapat-rapat darimu."
Perhatian Wiro kini beralih sepenuhnya, mendengarkan laki-laki tua dan korengan itu bercerita.
Sang Guru mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Wiro memperhatikan dengan seksama. Benda kecil berbentuk kotak, hitam, dan kumal.
"Ambil ini dan simpanlah," Sang Guru menyodorkan kotak itu kepada Wiro.
Wiro menerimanya dengan takzim, seperti prajurit rendahan yang menerima titah raja. Rasa penasaran tak dapat disembunyikan dari wajahnya.
Sang Guru membiarkan Wiro diliputi rasa ingin tahu. "Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro."
Wiro masih belum menjawab. Diamatinya kotak hitam itu. Diputar-putarnya. Ditimbang-timbangnya, menerka-nerka apa isinya.
"Wiro, meskipun kau bukan anakku sendiri, aku sangat menyayangimu."
Kali ini mata Wiro berkaca-kaca demi mendengar kalimat orang yang sudah merawatnya sejak orok itu.
"Ketahuilah Wiro, mungkin tak banyak yang bisa kuberikan untukmu selama ini. Bahkan untuk menyekolahkanmu saja aku tak mampu."
Air mata Wiro meleleh. Ia memang tak pernah tahu siapa orang tua kandungnya. Sepanjang yang dia ingat, hanya orang tua yang ia panggil Guru ini lah keluarganya.
"Wiro, hari ini tepat 20 tahun ketika aku menemukanmu di bawah jembatan. Dan selama ini kau tak pernah merayakan ulang tahun kan??"
Wiro mengangguk.
"Maka anggap saja hari ini hari ulang tahunmu. Kotak hitam itu kado untukmu. Mungkin tak seberapa. Bukan i-pad, hape, apalagi kunci Honda Jazz. Bukalah.."
Wiro merobek bungkusnya yang kumal dan bau. Sementara Sang Guru menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dengan nada yang berantakan. Ternyata beberapa helai senar gitar.
"Itu untuk gitarmu, biar lebih giat lagi kalau ngamen," kata Sang Guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar