DIA
"Amira, ibu ga habis pikir dengan Hanif sekarang. Dia sangat berubah. Sedih ya sedih tapi mbok ya jangan sampe segitunya."
"Ibu sabar saja. Mas Hanif pasti akan kembali seperti dulu. Saat ini
biarkan dia menata hati." Amira hanya tersenyum mendengar curhatan Ibu. "
Amira sudah mengingatkan Mas Hanif, kehilangan istri bukan terus dunia
ini berhenti berputar."
"Kamu kan yang paling dekat di antara
kita selain Hafsah. Bilang ke dia, ibu kehilangan anak lelakinya yang
paling ganteng sedunia," kata ibu berkelakar, walau sebenarnya dia
sangat prihatin. Bagaimana tidak sedih dan sesak di dada melihat anaknya
yang dulu sangat ramah, penuh senyum, yang selalu bisa mencairkan
suasana rumah menjadi hangat sekarang berubah arah. Berbeda sangat jauh.
"Ibu tahu dan mengerti banget, Hafsah adalah wanita yang sangat dia
cintai dan sayangi. Sampai terkadang ibu cemburu, anakku terang-terangan
diambil wanita cantik itu. Tetapi setelah aku mengenalnya ternyata
memang tidak salah kalau Hanif memilih Hafsah jadi pendamping hidupnya."
Ibu diam sejenak, seolah sedang memutar kembali sebuah film tempo dulu.
"Hafsah dulunya adalah gadis desa yang Hanif temui sedang menangis di
halte bis perempatan sana itu. Katanya dia kesasar ga tau jalan ke Panti
Asuhan Al-Firdaus, padahal tempatnya di ujung gang itu, tapi seharian
mencari ga ketemu. Dia ke mau kesana untuk menggantikan buliknya jadi
pengasuh dan guru ngaji."
Amira diam mendengarkan cerita wanita
tua yang masih ayu itu dengan senyum dan sabar, sementara tangannya
sibuk melipat baju yang baru diangkat dari jemuran.
"Karena sudah
larut, maka Hanif mengajaknya pulang ke rumah. Dia bilang awalnya
Hafsah ga mau, malah nangis makin kenceng takut diapa-apain, ya
untungnya ada Bapak yang pulang dari pengajian , ikut membujuknya
daripada harus nginep di halte kan lebih ga aman lagi. Akhirnya dia
nginep, esoknya Hanif antar dia ke panti."
Setelah berhenti sejenak, ibu meneruskan ceritanya tentang Hafsah.
"Sejak hari itu, Hanif dan Hafsah mulai dekat. Mereka berteman baik
bahkan denganku dan bapak. Kalau di panti lagi longgar, dia selalu
sempatkan main kesini. Kadang ikut mbantuin ibu bersih-bersih kebun
belakang atau masak. Dia gadis rajin. Kamu tau kan Amira, masakannya
enak banget. Apapun yang dia masak selalu menggugah selera."
"Iya, Bu. Masakan Mbak Hafsah selalu enak. Pernah kutanya rahasianya dia
bilang selalu kerjakan apapun dengan cinta, maka semua akan berbuah
cinta," Amira menimpali cerita ibu.
"Itulah. Dia juga gadis yang
selalu ceria. Selalu ramah pada siapa saja. Mungkin itu pula yang
membuat Hanif jatuh cinta dan memilih menikahinya."
Ibu tersenyum samar, entah apa yang ada dalam pikirannya yang membuat dia tersenyum seperti itu.
"Sayang sekali, pernikahan mereka tidak segera mendapat momongan. Dia
pernah curhat padaku, kalo sampai pada tahun kelima belum punya momongan
juga, dia akan mencarikan istri buat Hanif. Tentu saja aku terkejut
dengan ucapannya itu. Ibu bilang meski ibu tidak punya cucu langsung
dari mereka, kan masih banyak anak-anak di panti yang bisa diadopsi."
"Mbak Hafsah bener-bener mulia hatinya," bisik hati Amira.
"Dan ternyata bener, sampai tahun kelima belum ada tanda-tanda dia
hamil. Dia mulai mencari gadis yang sesuai dan cocok untuk Hanif. Tiap
ada calon, dia selalu tanya pendapatku. Bagaimana mau memberi pendapat
kalau ibu sendiri sangat tidak suka poligami tapi pada awal tahun
kemarin dia benar-benar bisa meyakinkanku bahwa gadis pilihannya itu
sangat cocok untuk Hanif dipandang dari sisi agama."
"Marahlah
Hanif mendengar usulan Hafsah agar dia menikah lagi. Mereka sempat
bertengkar karena salah paham. Entah apa yang dibilang Hafsah, Hanif
akhirnya mau menikah." Ibu menghentikan cerita, wajahnya terlihat
sedikit mendung dengan mata berkaca-kaca.
"Pada malam pernikahan,
setelah selasai acara, ibu memergoki Hafsah menangis di bangsal
belakang. Dia bilang ternyata hatinya belum kuat melihat suaminya
bersanding dengan wanita lain tapi apapun yang terjadi adalah atas
kemauan dia dan harus diterima dengan ikhlas. Ibu hanya bisa menangis
dan mendoakan dia menjadi wanita seperti harapannya."
Tanpa
terasa airmata Amira menetes mendengar betapa besarnya pengorbanan dan
kasih sayang Hafsah untuk suami dan keluarganya. Andai dia jadi Hafsah
mungkin takkan ada cerita seperti itu.
"Ah, sudahlah. Biarlah
kenangan itu kita simpan saja. Sekarang yang penting adalah
mengembalikan Hanif seperti dulu. Tolong bujuk dia terus ya Amira!"
pinta ibu.
"Amira akan terus membujuknya. Dan berusaha
mengembalikan Mas Hanif seperti dulu lagi, Bu," janji Amira menenangkan
ibu, walau sebenarnya dia sendiri tak tahu harus bagaimana.
---
"Mas Hanif jangan sedih terus dong, bagaimana pun hidup harus terus dilanjutkan. Ikhlaskan kepergian Mbak Hafsah."
"Aku ikhlas kok, Dik," jawab Hanif tak bersemangat. Matanya yang tajam
tak berpaling dari langit-langit ruang tamu yang mulai kusam, di sore
itu.
"Semoga Mbak Hafsah menjadi bidadari surga. Dia perempuan
luar biasa. Cintanya pada Mas, keluarga kita tiada bandingnya. Bahkan
aku tak pernah mendengar dia mengeluh atau marah."
Heeeh!!!
Hanya terdengar nafas berat dibuang dari Hanif. Dia sering melamun, tak
banyak bicara sejak meninggalnya Hafsah saat melahirkan anak mereka
sebulan lalu. Anak yang begitu didamba kehadirannya oleh Hafsah sejak
menikah tujuh tahun lalu. Apa mau dikata, kondisi Hafsah yang memiliki
panggul sempit, umur sudah di atas 35 tahun ditambah riwayat
pengangkatan satu ovariumnya karena terdapat kista juga diabetes,
sebenarnya beresiko tinggi untuk hamil. Betapa bahagia dia saat dokter
menyatakan positif hamil meskipun dengan banyak pantangan dan hal yang
harus dipatuhi. Dia benar-benar menikmati kehamilannya.
---
Hanya Amira yang sering mengajaknya ngobrol. Meski tak banyak mendapat respon dari Hanif, tapi Amira tetap sabar.
"Mas harus kembali bersemangat seperti dulu. Apalagi sekarang ada
Lukman, anak kalian yang sangat butuh kasih sayang darimu, Mas."
"Bapak dan ibu juga kurang suka melihat Mas Hanif yang murung tidak
seperti dulu. Sedih boleh saja, namanya juga kehilangan istri tercinta
tapi masih banyak orang di sekitarmu yang membutuhkan dan menyayangimu.
Mas Hanif ngerti maksudku kan?" kata Amira panjang.
Hanif masih
terdiam, seakan sedang mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari mulut
mungil Amira. Wanita ini begitu mirip dengan Hafsah, bedanya dia agak
tertutup seperti sungkan dan kikuk. Sedang Hafsah, akan berkata apa yang
ada di pikirannya tanpa tedeng aling-aling. Bagi yang belum mengenalnya
pasti akan melongo bahkan tak jarang sakit hati. Itulah yang disukai
Hanif, terus terang.
"Kasihan Lukman. Bayi itu ga bisa minum ASI. Ga pernah mengenal ibunya."
"Mas ga usah khawatir, aku akan menyayanginya seperti anakku sendiri.
Bayi dalam kandunganku ini kelak juga akan menjadi teman bermain dan
saudaranya."
Keheningan menyergap mereka untuk beberapa saat.
Amira terdiam memandang Hanif, lelaki yang biasanya murah senyum, kini
jarang sekali memperlihatkan lesung pipinya yang menawan. Dielus
perutnya yang sedang hamil tua dengan sayang. Dia berharap anaknya nanti
juga laki-laki, agar Lukman punya teman bermain.
"Terima kasih Amira. Beri aku waktu ...." kata Hanif bertepatan dengan berkumandangnya adzan maghrib dari surau depan rumah.
Dia bangkit dari duduknya, melangkah perlahan menuju kamar mandi. Amira mengikuti Hanif mengambil wudhu
"Mbak Hafsah, meski aku takkan bisa menggantikan posisi cintamu di
hatinya. Aku akan berusaha menjadi istri yang soleha untuk Mas Hanif,"
kata Amira dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar