Rabu, 23 April 2014

DIA KARYA EDOH LUKMAN

DIA
 
"Amira, ibu ga habis pikir dengan Hanif sekarang. Dia sangat berubah. Sedih ya sedih tapi mbok ya jangan sampe segitunya."
"Ibu sabar saja. Mas Hanif pasti akan kembali seperti dulu. Saat ini biarkan dia menata hati." Amira hanya tersenyum mendengar curhatan Ibu. " Amira sudah mengingatkan Mas Hanif, kehilangan istri bukan terus dunia ini berhenti berputar."
"Kamu kan yang paling dekat di antara kita selain Hafsah. Bilang ke dia, ibu kehilangan anak lelakinya yang paling ganteng sedunia," kata ibu berkelakar, walau sebenarnya dia sangat prihatin. Bagaimana tidak sedih dan sesak di dada melihat anaknya yang dulu sangat ramah, penuh senyum, yang selalu bisa mencairkan suasana rumah menjadi hangat sekarang berubah arah. Berbeda sangat jauh.
"Ibu tahu dan mengerti banget, Hafsah adalah wanita yang sangat dia cintai dan sayangi. Sampai terkadang ibu cemburu, anakku terang-terangan diambil wanita cantik itu. Tetapi setelah aku mengenalnya ternyata memang tidak salah kalau Hanif memilih Hafsah jadi pendamping hidupnya."
Ibu diam sejenak, seolah sedang memutar kembali sebuah film tempo dulu.
"Hafsah dulunya adalah gadis desa yang Hanif temui sedang menangis di halte bis perempatan sana itu. Katanya dia kesasar ga tau jalan ke Panti Asuhan Al-Firdaus, padahal tempatnya di ujung gang itu, tapi seharian mencari ga ketemu. Dia ke mau kesana untuk menggantikan buliknya jadi pengasuh dan guru ngaji."
Amira diam mendengarkan cerita wanita tua yang masih ayu itu dengan senyum dan sabar, sementara tangannya sibuk melipat baju yang baru diangkat dari jemuran.
"Karena sudah larut, maka Hanif mengajaknya pulang ke rumah. Dia bilang awalnya Hafsah ga mau, malah nangis makin kenceng takut diapa-apain, ya untungnya ada Bapak yang pulang dari pengajian , ikut membujuknya daripada harus nginep di halte kan lebih ga aman lagi. Akhirnya dia nginep, esoknya Hanif antar dia ke panti."
Setelah berhenti sejenak, ibu meneruskan ceritanya tentang Hafsah.
"Sejak hari itu, Hanif dan Hafsah mulai dekat. Mereka berteman baik bahkan denganku dan bapak. Kalau di panti lagi longgar, dia selalu sempatkan main kesini. Kadang ikut mbantuin ibu bersih-bersih kebun belakang atau masak. Dia gadis rajin. Kamu tau kan Amira, masakannya enak banget. Apapun yang dia masak selalu menggugah selera."
"Iya, Bu. Masakan Mbak Hafsah selalu enak. Pernah kutanya rahasianya dia bilang selalu kerjakan apapun dengan cinta, maka semua akan berbuah cinta," Amira menimpali cerita ibu.
"Itulah. Dia juga gadis yang selalu ceria. Selalu ramah pada siapa saja. Mungkin itu pula yang membuat Hanif jatuh cinta dan memilih menikahinya."
Ibu tersenyum samar, entah apa yang ada dalam pikirannya yang membuat dia tersenyum seperti itu.
"Sayang sekali, pernikahan mereka tidak segera mendapat momongan. Dia pernah curhat padaku, kalo sampai pada tahun kelima belum punya momongan juga, dia akan mencarikan istri buat Hanif. Tentu saja aku terkejut dengan ucapannya itu. Ibu bilang meski ibu tidak punya cucu langsung dari mereka, kan masih banyak anak-anak di panti yang bisa diadopsi."
"Mbak Hafsah bener-bener mulia hatinya," bisik hati Amira.
"Dan ternyata bener, sampai tahun kelima belum ada tanda-tanda dia hamil. Dia mulai mencari gadis yang sesuai dan cocok untuk Hanif. Tiap ada calon, dia selalu tanya pendapatku. Bagaimana mau memberi pendapat kalau ibu sendiri sangat tidak suka poligami tapi pada awal tahun kemarin dia benar-benar bisa meyakinkanku bahwa gadis pilihannya itu sangat cocok untuk Hanif dipandang dari sisi agama."
"Marahlah Hanif mendengar usulan Hafsah agar dia menikah lagi. Mereka sempat bertengkar karena salah paham. Entah apa yang dibilang Hafsah, Hanif akhirnya mau menikah." Ibu menghentikan cerita, wajahnya terlihat sedikit mendung dengan mata berkaca-kaca.
"Pada malam pernikahan, setelah selasai acara, ibu memergoki Hafsah menangis di bangsal belakang. Dia bilang ternyata hatinya belum kuat melihat suaminya bersanding dengan wanita lain tapi apapun yang terjadi adalah atas kemauan dia dan harus diterima dengan ikhlas. Ibu hanya bisa menangis dan mendoakan dia menjadi wanita seperti harapannya."
Tanpa terasa airmata Amira menetes mendengar betapa besarnya pengorbanan dan kasih sayang Hafsah untuk suami dan keluarganya. Andai dia jadi Hafsah mungkin takkan ada cerita seperti itu.
"Ah, sudahlah. Biarlah kenangan itu kita simpan saja. Sekarang yang penting adalah mengembalikan Hanif seperti dulu. Tolong bujuk dia terus ya Amira!" pinta ibu.
"Amira akan terus membujuknya. Dan berusaha mengembalikan Mas Hanif seperti dulu lagi, Bu," janji Amira menenangkan ibu, walau sebenarnya dia sendiri tak tahu harus bagaimana.
---
"Mas Hanif jangan sedih terus dong, bagaimana pun hidup harus terus dilanjutkan. Ikhlaskan kepergian Mbak Hafsah."
"Aku ikhlas kok, Dik," jawab Hanif tak bersemangat. Matanya yang tajam tak berpaling dari langit-langit ruang tamu yang mulai kusam, di sore itu.
"Semoga Mbak Hafsah menjadi bidadari surga. Dia perempuan luar biasa. Cintanya pada Mas, keluarga kita tiada bandingnya. Bahkan aku tak pernah mendengar dia mengeluh atau marah."
Heeeh!!!
Hanya terdengar nafas berat dibuang dari Hanif. Dia sering melamun, tak banyak bicara sejak meninggalnya Hafsah saat melahirkan anak mereka sebulan lalu. Anak yang begitu didamba kehadirannya oleh Hafsah sejak menikah tujuh tahun lalu. Apa mau dikata, kondisi Hafsah yang memiliki panggul sempit, umur sudah di atas 35 tahun ditambah riwayat pengangkatan satu ovariumnya karena terdapat kista juga diabetes, sebenarnya beresiko tinggi untuk hamil. Betapa bahagia dia saat dokter menyatakan positif hamil meskipun dengan banyak pantangan dan hal yang harus dipatuhi. Dia benar-benar menikmati kehamilannya.
---
Hanya Amira yang sering mengajaknya ngobrol. Meski tak banyak mendapat respon dari Hanif, tapi Amira tetap sabar.
"Mas harus kembali bersemangat seperti dulu. Apalagi sekarang ada Lukman, anak kalian yang sangat butuh kasih sayang darimu, Mas."
"Bapak dan ibu juga kurang suka melihat Mas Hanif yang murung tidak seperti dulu. Sedih boleh saja, namanya juga kehilangan istri tercinta tapi masih banyak orang di sekitarmu yang membutuhkan dan menyayangimu. Mas Hanif ngerti maksudku kan?" kata Amira panjang.
Hanif masih terdiam, seakan sedang mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mungil Amira. Wanita ini begitu mirip dengan Hafsah, bedanya dia agak tertutup seperti sungkan dan kikuk. Sedang Hafsah, akan berkata apa yang ada di pikirannya tanpa tedeng aling-aling. Bagi yang belum mengenalnya pasti akan melongo bahkan tak jarang sakit hati. Itulah yang disukai Hanif, terus terang.
"Kasihan Lukman. Bayi itu ga bisa minum ASI. Ga pernah mengenal ibunya."
"Mas ga usah khawatir, aku akan menyayanginya seperti anakku sendiri. Bayi dalam kandunganku ini kelak juga akan menjadi teman bermain dan saudaranya."
Keheningan menyergap mereka untuk beberapa saat. Amira terdiam memandang Hanif, lelaki yang biasanya murah senyum, kini jarang sekali memperlihatkan lesung pipinya yang menawan. Dielus perutnya yang sedang hamil tua dengan sayang. Dia berharap anaknya nanti juga laki-laki, agar Lukman punya teman bermain.
"Terima kasih Amira. Beri aku waktu ...." kata Hanif bertepatan dengan berkumandangnya adzan maghrib dari surau depan rumah.
Dia bangkit dari duduknya, melangkah perlahan menuju kamar mandi. Amira mengikuti Hanif mengambil wudhu
"Mbak Hafsah, meski aku takkan bisa menggantikan posisi cintamu di hatinya. Aku akan berusaha menjadi istri yang soleha untuk Mas Hanif," kata Amira dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar