Selasa, 22 April 2014

Menentang Arus Karya Rizki Fuji

KBM Akademi Level 8
Menentang Arus
Karya Rizki Fuji

"Mas Marwan, kapan kita menikah?" Ema menyandarkan kepalanya ke pundakku.
"Kita tidak akan menikah, Ema. Sampai kapan pun hal itu tidak akan terjadi," jawabku tegas.
Ema mengangkat kepalanya, menatapku. "Kenapa, Mas? Kamu malu ya nikah sama aku?" Ada nada kecewa dalam suaranya.
"Bukan. Orang tua kita pasti tidak akan merestui. Sepertinya aku akan menerima perjodohan itu." Aku tertunduk. Sudah lama aku ingin menjauh dari hubungan ini setelah orang tuaku memperkenalkan Ratna.
"Tidak. Aku tidak mau. Pokoknya kita harus menikah." Ema bangkit dari duduknya.
Ya Tuhan. Bagaimana cara untuk menjauhinya? "Tidak bisa, Ema. Kita tidak akan bisa menikah."
"Jadi kamu lebih pilih Ratna yang baru kamu kenal daripada aku yang sudah hampir dua tahun ini menjadi pacar kamu? Setelah semua pengorbanan yang aku lakukan, sekarang kamu malah minta putus? Di mana hati kamu, Mas?" Ia menangis, suaranya terdengar parau.
"Maaf, Ema. Hubungan ini memang harus segera disudahi. Oleh karena itu aku akan menikah dengan Ratna. Karena pilihan orang tuaku tidak akan pernah salah," ujarku meyakinkan.
"Oke. Kalau kamu masih ngotot untuk memutuskan hubungan ini, aku akan menghabisi nyawa gadis sialan itu," bisik Ema.
Aku kaget bukan main. Kutatap mata itu, tergambar jelas amarah di sana. Ya Tuhan. Mengapa ia sampai senekat itu? Aku bangkit dari duduk lalu berkata, "Kamu sudah gila ya?"
"Aku gila karena kamu!" bentak Ema tak mau kalah. Ia menatapku garang. "Jadi kamu pilih mana? Tetap sama aku atau Ratna aku bunuh?" ancamnya.
Sungguh pilihan yang sulit. Terpaksa aku harus mengikuti kemauannya. "Baiklah aku akan tetap sama kamu."
Ema mengecup pipiku. "Nah, begitu dong. Aku pulang dulu ya. Dadah, Sayang." Ia melambaikan tangannya dan meninggalkanku sendiri.
Apa yang sudah aku lakukan? Ada sedikit penyesalan dalam hatiku karena telah mengenal bahkan menjalin hubungan dengannya. Kusandarkan punggung pada bangku taman yang terasa dingin. Menghela napas, memandang bintang yang entah sudi atau tidak untuk tersenyum padaku. Membiarkan angin malam menyapu raga ini.
*****
Hidup yang kujalani nyaris sempurna. Rumah, mobil mewah, usaha cafe di salah satu pusat belanja modern besar telah kugenggam. Tubuh atletis bahkan paras yang tampan dengan hiasan kumis dan jenggot tipis membuat penampilanku semakin terlihat maskulin. Mungkin sekali lirikan mata, aku bisa mendapatkan sepuluh wanita yang kumau.
Namun dalam masalah cinta, aku sangatlah payah. Ingin rasanya memutuskan hubungan dengan Ema tapi tidak tega. Semula aku memang sangat menyayanginya, tapi sekarang tidak semenjak menyadari bahwa hubungan ini bisa membawa petaka. Pernah kucoba untuk membuka hati pada seorang gadis. Tapi begitu mengetahui bahwa aku memiliki Ema, ia langsung pergi begitu saja.
Pertama kali aku mengenal Ema dari seorang teman ketika kami sedang bermain di taman. Ia mendekat, seketika jantungku berdebar saat melihatnya. Hati ini tertarik pada sosoknya yang feminim. Kulit putih bersih yang halus, wajahnya cantik dan sangat berbeda dengan pacar-pacarku sebelumnya.
Dua bulan lalu orang tuaku mengenalkan seorang gadis bernama Ratna. Cantik, sopan, seperti jelmaan bidadari. Tubuhnya tinggi, bahunya agak lebar dan suaranya terdengar tegas. Tapi saat itu aku menolaknya karena masih menyayangi Ema. Ratna tetap berusaha merebut hatiku. Dengan sabar ia memberikan perhatian pada diri ini walaupun tak jarang kuberkata kasar padanya.
Ratna mengetahui hubunganku dengan Ema. Ia bicara padaku bahwa saat itu Ema melabraknya, namun Ratna hanya tersenyum membalas perlakuan kekasihku tersebut. Lama-lama hati ini luluh akan kegigihan Ratna. Ada keyakinan kuat di dalam hati bahwa Ratna akan membawaku keluar dari hubungan ini. Aku pun merespon Ratna yang sepertinya sungguh mencintaiku.
Rupanya Ema mampu membaca gerak-gerikku yang mulai menjauh darinya. Sejak itu ia menghilang selama beberapa minggu. Tiba-tiba Ema mengajakku untuk bertemu. Setibanya di taman, diri ini kaget bukan main melihat sosok Ema yang nyaris tidak kukenali. Hidungnya lebih mancung, matanya bulat seperti artis Korea dan bentuk wajahnya menjadi oval. Namun aku dapat mengenali tatapan itu.
Kupikir tindakannya sungguh nekat. Bahkan ia sampai rela diusir oleh keluarganya. Ada perasaan tak tega dalam hati melihat Ema yang begitu berusaha menjadi yang terbaik untukku. Akhirnya kulanjutkan hubungan tersebut untuk menghargai jerih payahnya. Namun perasaan tidak dapat dibohongi, aku sudah tidak mencintainya lagi.
*****
Angin sore menerobos melalui jendela kamar, membawa hawa sejuk untuk diriku yang sedang dilanda kebimbangan. Bagaimana caranya untuk menjauhi Ema? Sedangkan ia sampai melepaskan segalanya demi diriku dan nyawa Ratna adalah taruhannya. Ah, mungkin dia sudah gila. Mencintai terlalu berlebih pun akan melukai diri sendiri. Kulirik handphone berwarna hitam yang mematung di samping bantal. Setelah berpikir beberapa kali, kuputuskan untuk mengajak Ema bertemu di tempat pertama kami berkenalan. Kukirim pesan singkat untuknya.
To : Ema
Nanti malam temui aku di taman jam 8. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.
Setelah pesan terkirim kukembalikan handphone tersebut ke samping bantal. Tak berapa lama kemudian benda persegi panjang itu berdering tanda pesan masuk.
From : Ema
Oke, Sayang.
Tak kubalas lagi pesan tersebut. Malam ini aku akan memberanikan diri untuk memutuskan hubungan dengan Ema.
*****
"Apa, Mas? Putus?" Suara Ema meninggi saat kuutarakan maksud.
"Iya, Ema. Jujur, aku sudah tidak ada rasa denganmu," jawabku. Sebenarnya terselip perasaan bersalah di dalam hati.
Ia meraih tanganku dan menggenggamnya seraya tersenyum. "Mas, bilang sama aku bahwa kamu sedang berbohong."
Perlahan kulepas genggaman tersebut. "Tidak, Ema. Kali ini aku serius. Hubungan ini harus segera diakhiri. Kita tidak dapat mempertahankan semua apapun alasannya," ujarku mantap.
Senyum manis di wajah itu melemah, matanya mulai berkaca-kaca. Dalam hitungan satu detak jantung, butiran bening itu menetes. Mengalir layaknya sebuah sungai tak beraturan yang membelah pipi. "Aku yakin kamu pasti bohong." Ema menyeka air mata dengan punggung tangannya. Eyeliner dan mascara yang menghiasi wajah manis itu mulai luntur meninggalkan noda hitam di sekitar matanya.
"Tatap mata aku. Apa aku terlihat sedang berbohong?" Kutatap mata itu dalam-dalam. "Aku sayang kamu. Bahkan sayang sekali. Tapi itu dulu, sebelum aku menyadari dosa di balik hubungan kita."
Ia terisak. Aku tahu pasti sakit rasanya saat usaha besar yang dilakukan untuk mempertahankan suatu hubungan seakan sia-sia. Tapi mau bagaimana lagi? "Ema, aku harap kamu dapat mengerti. Maaf, aku harus pergi." Kulangkahkan kaki meninggalkan Ema yang sedang larut dalam kesedihan. Sungguh, sebenarnya hati ini tidak tega melihatnya menangis.
"Mas Marwan," teriak Ema menghentikan langkahku, "tolong jangan pergi. Apa salahku? Aku sudah melakukan apa saja demi kamu, Mas."
"Bukan. Bukan kamu yang salah." Aku membalikkan badan, menoleh ke arah Ema yang terlihat lemas di balik dress merah jambunya. "Tapi kita. Bagaimanapun juga, kita tidak akan bisa bersatu."
"Kenapa tidak, Mas? Masalah tempat? Kita bisa menikah di Prancis, Belanda, atau Selandia Baru. Tinggal kita pilih saja. Atau kamu mau kita menikah di sini? Itu mudah, Mas. Aku bisa memalsukan identitas. Kalau kamu tidak mau membiayai pernikahan kita, aku sanggup kok membayar itu semua dengan honorku sebagai model," cecar Ema meyakinkanku.
"Itu tidak semudah yang kamu pikirkan," sahutku, "soal biaya bukan masalah bagiku. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana tanggapan keluargaku nantinya?"
"Apa masalah anak?" tanya Ema. Sepertinya ia tidak mendengarkan ucapanku. "Kita bisa adopsi. Kamu tahu kan sekarang panti asuhan sudah ada di mana-mana? Apa yang kamu pikirkan lagi, Mas?"
"Ema, dengarkan aku!" Aku meninggikan suara membuat Ema terdiam seketika. "Ema, aku akan menikahimu, sungguh. Andai saja kamu seorang wanita pasti akan kunikahi. Sadarlah Emanuel, kita berdua adalah laki-laki. Bukan hanya keluarga, bahkan Tuhan pun murka jika hubungan ini terus berlanjut. Sudahlah mari kita saling melupakan. Biar kita berjalan masing-masing dan melupakan hubungan hina yang pernah kita lalui."
Ema terus menangis. "Aku sudah operasi plastik, memanjangkan rambut bahkan diusir oleh keluarga demi kamu. Lantas ini balasan atas semua yang sudah aku lakukan demi kamu? Jahat kamu, Mas!" hardik Ema.
"Aku tidak pernah memintamu untuk melakukan itu semua," tegasku, "Ema apa kamu tahu kalimat bahwa hidup layaknya daun yang hanyut selalu mengikuti arus air? Ibaratkan saja manusia adalah daun dan arus adalah kehendak Tuhan. Apa daun yang hanyut pernah melawan arus? Tidak, Ema. Oleh karena itu kita tidak boleh menentang kehendak Tuhan."
"Cukup, Mas! Orang gila mana yang sudah mencuci otak kamu? Jawab!"
Perkataannya semakin membuatku geram. Kuhampiri Ema dan secara refleks menamparnya. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Perasaan bersalah mulai menari-nari di hati. Ema memegangi pipinya yang memerah. Beberapa helai rambut menutupi wajah manis itu. Tangan kiri yang kugunakan untuk menampar Ema gemetar. Sedangkan tangan kananku memegang tangan kiri seakan tidak percaya bahwa pasangannya mampu berbuat kasar seperti itu.
"Oh, sekarang kamu sudah berani menamparku ya?" Ema menghujani wajahku dengan tamparan. Sebisa mungkin aku menutupi wajah dengan lengan. "Oke. Ternyata kamu memilih gadis sialan itu. Lihat saja apa yang akan aku lakukan padanya." Suaranya terdengar mengancam. Ia berlari menuju mobilnya dan memacu si roda empat itu.
Kulihat mobil itu menjauh. Tiba-tiba aku teringat akan ancamannya minggu lalu. Aku harus menyelamatkan Ratna. Aku berlari menuju mobil dan menancapkan gas berusaha untuk mencegah Ema.
*****
Aku nyaris putus asa saat beberapa jalan menuju rumah Ratna dilewati tapi tak kutemukan mobil Ema. Kulewati rumah Ratna, aman-aman saja tidak ada apa-apa. Bahkan pembantunya yang sedang membuang sampah pun sempat menyapa saat aku menghentikan mobil di depan gerbang rumah Ratna. Lalu di mana Ema?
Sudah hampir satu jam aku mencarinya. Memutar kemudi, berkeliling menyusuri setiap jalan menuju rumah Ratna. Dari kejauhan terlihat kerumunan orang di sekitar pohon besar. Ada mobil derek sedang mengevakuasi mobil yang bagian depannya sudah tak berbentuk lagi.
Sempat kulihat sekilas plat nomor mobil itu. Tulang-tulang yang menyangga tubuhku terasa copot dan napas pun sesak. Segera aku memarkirkan mobil di pinggir jalan dan berlari ke arah kerumunan itu. "Pak, Bu, ada apa ini? Mana pemilik mobilnya?" tanyaku panik. Tidak terasa air mata membasahi wajahku. Bagaimanapun juga Ema pernah menjadi bagian hidupku. Aku pernah mencintainya.
"Wah, Mas. Pemilik mobilnya tewas di tempat. Sudah dilarikan ke Rumah Sakit Graha Medika. Serem deh mayatnya nyaris tidak berbentuk wajahnya," jawab salah seorang warga, "Mas ini saudaranya ya?"
Bukan. Aku adalah mantan kekasihnya. Apakah ini balasan karena telah menjalani hubungan itu? Ya Tuhan. Sungguh aku tidak mau kalau semua berakhir seperti ini. Setelah mengucapkan terima kasih kepada warga tersebut, aku berlari menuju mobil. Dengan kecepatan tinggi membelah jalanan. Pikiranku buyar, terombang-ambing tak menentu. Air mata mengaburkan pandangan. Sesekali kuseka dengan punggung tangan. Mengapa semua menjadi seperti ini?
*****
"Mas." Ratna menghampiriku yang sedang melamun di teras rumah. "Sudah, jangan sedih lagi. Ikhlaskan dia agar tenang di sana."
"Iya," jawabku singkat seraya tersenyum padanya.
"Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang pernah kita cintai. Tapi syukurlah, sekarang kamu sudah bertaubat. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu," ujarnya halus dan menatapku dengan penuh kesungguhan.
Ah, entah sejak kapan tatapan mata Ratna selalu membuatku merasa tenang. "Terima kasih, Ratna. Ini semua adalah peringatan dari Tuhan. Lagipula sepertinya hidup juga tak menghendaki bersatunya dua jiwa yang tanpa malu berniat menentang aturan Tuhan. Biarlah ini semua menjadi kisah kelam dalam hidupku. Dan akan kurangkai masa depan indah bersamamu dalam satu ikatan suci. Ratna, maukah kamu menikah denganku?"
Matanya terbelalak, ada guratan rasa senang di wajahnya. "Dengan senang hati, Mas." Kami saling bertatapan membalas senyum satu sama lain. Bayangan tentang indahnya masa depan membuat kami semakin optimis. Aku yakin bahwa akan selalu ada pelangi setelah badai.
"Mas, aku mau memberi tahu satu rahasia."
"Apa itu?"
"Tapi kamu janji ya tetap menikahi aku walaupun sudah kuceritakan semua."
"Iya, Ratna," sahutku lembut.
"Mas, sebenarnya ada yang keluargaku sembunyikan, jangan cerita ke keluarga kamu ya." Ratna menatapku.
"Iya, aku janji."
"Mas, sebenarnya dari kecil aku ingin menjadi seorang perempuan, akhirnya ketika lulus SMA aku melakukan operasi transgender. Untung orang tuaku mengijinkan. Kamu tetap mau menikah denganku kan?" Ia tersenyum.
"Maksud kamu?" nyaris saja aku kehabisan kata-kata.
"Ya kamu tahulah," jawab Ratna santai.
Ya Tuhan. Drama macam apa lagi ini?
Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar